Tekankan Ruang Aman dan Inklusif bagi Perempuan Disabilitas
UIN Siber Cirebon — Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2025, Pusat Studi Gender, Anak dan Disabilitas (PSGAD) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon menyelenggarakan Webinar Nasional bertema “Kita Punya Andil: Wujudkan Ruang Aman Inklusif bagi Perempuan Disabilitas” pada Kamis (13/11/2025) melalui platform Zoom Meeting. Kegiatan ini menjadi ruang refleksi sekaligus penguatan advokasi guna mendorong terciptanya lingkungan aman, setara, dan inklusif bagi perempuan, terutama penyandang disabilitas.
Dimulai pukul 08.00 WIB, webinar ini turut menyoroti urgensi kebijakan hukum yang berpihak kepada korban kekerasan seksual, terutama melalui implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Kegiatan diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan dilanjutkan sambutan Ketua PSGAD, Masriah, M.Ag., yang menegaskan pentingnya sinergi antara lembaga pendidikan dan masyarakat dalam menciptakan ruang aman yang adil gender.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Wakhid Hasim, M.Hum. selaku Sekretaris LP2M. Ia membuka acara sekaligus memberikan apresiasi terhadap upaya PSGAD dalam menyediakan ruang diskusi yang berpihak pada kelompok rentan, khususnya perempuan penyandang disabilitas.
UU TPKS dan Tantangan Perlindungan Korban
Webinar menghadirkan Vitria Lazzarini Latief sebagai narasumber utama dengan materi “Memahami UU TPKS: Wujudkan Ruang Aman bagi Perempuan”, dimoderatori oleh Listiana Ekawati, M.Hum.
Dalam penjelasannya, Vitria menguraikan berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam penanganan kekerasan seksual, di antaranya:
- masih kuatnya praktik victim blaming,
- bias terhadap penyandang disabilitas,
- keterbatasan akses layanan hukum dan psikologis,
- minimnya pelapor kasus karena stigma dan hambatan struktural.
Vitria menegaskan bahwa UU TPKS merupakan terobosan penting yang mengubah paradigma hukum dari perspektif moralitas menuju perlindungan hak korban.
“UU TPKS memastikan korban lebih didengar dan diakui haknya. Korban, termasuk perempuan disabilitas, berhak atas layanan hukum, kesehatan, perlindungan identitas, serta pemulihan psikososial dan ekonomi,” jelasnya.
Ia juga menerangkan ragam tindak pidana kekerasan seksual yang diatur UU TPKS, termasuk pelecehan seksual fisik dan nonfisik, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik. Vitria menambahkan pentingnya regulasi turunan seperti Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 dan PMA No. 73 Tahun 2022, yang menegaskan bahwa lembaga pendidikan wajib menindak tegas kasus kekerasan seksual tanpa mekanisme mediasi.
Antusiasme peserta tampak dari banyaknya pertanyaan pada sesi diskusi, datang dari dosen, mahasiswa, aktivis gender, hingga pemerhati isu disabilitas dari berbagai wilayah Indonesia.
Kampus Harus Jadi Ruang Aman untuk Semua
Materi kedua disampaikan oleh Rina Prasarani, yang menyoroti kerentanan sistemik yang masih dialami penyandang disabilitas, termasuk di perguruan tinggi. Ia menekankan bahwa interseksionalitas antara gender dan disabilitas menjadikan perempuan disabilitas lebih rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi.
“Kasus kekerasan dan diskriminasi di kampus sering kali bagaikan fenomena gunung es. Banyak yang tidak terlapor karena minimnya kanal pelaporan dan kurangnya akomodasi yang layak,” ungkap Rina.
Menurutnya, kampus harus aktif membangun sistem yang menjamin hak akademik, perlindungan, serta kesejahteraan mahasiswa disabilitas.
Paradigma Baru: Dari Belas Kasihan ke Pendekatan Berbasis Hak
Rina menegaskan perlunya transformasi paradigma dari pendekatan berbasis belas kasihan menuju pendekatan berbasis hak asasi manusia.
“Prinsip utama yang harus dipegang adalah Nothing About Us Without Us! Tidak ada keputusan tentang kami tanpa melibatkan kami,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa penyandang disabilitas adalah subjek akademik penuh yang harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan kampus.
Etika Interaksi dan Aksesibilitas yang Wajib Disediakan
Dalam sesi berikutnya, Rina menjelaskan etika interaksi terhadap penyandang disabilitas, termasuk:
- komunikasi langsung kepada mahasiswa disabilitas, bukan kepada pendamping,
- menghindari sikap paternalistik,
- bertanya terlebih dahulu sebelum memberi bantuan.
Ia menegaskan bahwa penyediaan Akomodasi yang Layak (AYL) bukanlah fasilitas tambahan, tetapi kewajiban hukum. AYL meliputi ramp, guiding block, materi digital ramah akses, juru bahasa isyarat, serta fleksibilitas waktu ujian.
Peran HWDI dan Advokasi Berkelanjutan
Sebagai Ketua II Bidang Advokasi & Peningkatan Kesadaran HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia), Rina turut memaparkan kontribusi HWDI dalam mengawal lahirnya UU Penyandang Disabilitas No. 8 Tahun 2016 dan UU TPKS. HWDI juga menggagas:
- Training EDIT (Edukasi Inklusi dan Transformasi),
- pengembangan modul edukasi UU TPKS yang ramah disabilitas,
- penyusunan SOP Penanganan Perempuan Disabilitas Berhadapan dengan Hukum (PDBH).
Inisiatif-inisiatif tersebut dapat diadaptasi oleh perguruan tinggi dalam mengembangkan sistem perlindungan.
Transformasi Kampus: Dari Akses ke Martabat
Rina menutup materi dengan refleksi mendalam mengenai makna disabilitas.
“Disability happens, but what makes it disabled is the environment. Yang harus kita ubah bukan individunya, tetapi sistem dan lingkungannya.”
Ia menyerukan seluruh unsur kampus—pimpinan, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa—untuk berkomitmen mewujudkan ruang aman dan bebas kekerasan bagi perempuan disabilitas.
Webinar ini diharapkan menjadi titik awal penguatan advokasi di kampus, memperkuat mekanisme perlindungan, serta mendorong pembentukan kebijakan inklusif yang berpihak pada kelompok rentan.






