UIN Siber Cirebon (Depok) — Di tengah dunia yang masih diwarnai ketegangan, konflik, dan kesalahpahaman antarumat beragama, muncul satu nama dari Indonesia yang gaungnya menembus batas geografis dan teologis: Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar,MA.
Dari podium Masjid Istiqlal hingga mimbar di Vatikan, dari ruang kuliah di Universitas Al-Azhar hingga forum global di markas besar PBB, pesan yang ia bawa selalu sama — bahwa cinta kasih, persaudaraan, dan kemanusiaan adalah bahasa universal umat manusia.
Tak heran jika Rektor UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Dr. H. Aan Jaelani, M.Ag., menilai sang Menteri Agama RI layak diusulkan sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian Dunia.
“Nama Anregurutta Prof. Nasaruddin Umar kini melambung tinggi di kancah internasional sebagai tokoh lintas agama dunia. Ia bukan hanya berbicara tentang perdamaian, tetapi menghidupinya dalam tindakan nyata,” ujar Prof. Aan Jaelani dengan penuh keyakinan di Depok, Selasa (28/10).
Dari Masjid Istiqlal ke Panggung Dunia
Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin menjadikan rumah ibadah terbesar di Asia Tenggara itu bukan sekadar tempat ibadah, tetapi pusat peradaban inklusif — ruang dialog antariman, tempat diplomat, rohaniwan, dan akademisi dunia bertemu dalam semangat persaudaraan.
Inisiatif besarnya, Deklarasi Istiqlal 2024, yang digelar saat kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, menjadi simbol kesepahaman antaragama yang menggema hingga ke mancanegara. Dunia menyebutnya sebagai model harmoni spiritual dari Indonesia untuk dunia.
“Deklarasi itu bukan sekadar peristiwa keagamaan,” kata Prof. Aan. “Itu adalah diplomasi spiritual — warisan baru bagi peradaban global.”
Dialog yang Menembus Sekat Teologi
Ketokohan Prof. Nasaruddin tidak hanya diukur dari jabatannya, melainkan dari keberaniannya membangun jembatan antariman di tengah dunia yang terpecah. Ia dikenal akrab dengan para pemuka agama dunia, termasuk kardinal, rabbi, dan biksu, serta aktif dalam Forum Daring Peace di Vatikan yang digelar Komunitas Sant’Egidio.
Di hadapan para pemimpin agama dunia itu, ia berkata sederhana namun kuat:
“Persaudaraan tidak mengenal batas agama.”
Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Dalam setiap perjumpaan lintas iman, Prof. Nasaruddin menunjukkan kerendahan hati dan cinta kasih yang tulus — nilai yang membuatnya disegani bukan hanya sebagai ulama, tetapi juga diplomat moral dunia.
Pemikir yang Merangkul, Bukan Menghakimi
Sebagai cendekiawan Muslim global, Prof. Nasaruddin tak hanya dikenal karena pandangan teologinya yang moderat, tetapi juga karena kedalaman karya akademiknya. Buku-bukunya tentang tafsir, gender, dan perdamaian menjadi referensi di berbagai universitas internasional.
Ia menempatkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan sebagai dogma yang menyingkirkan yang lain. Bagi Nasaruddin, agama bukan tembok pemisah, melainkan jembatan yang menghubungkan hati manusia.
“Dunia tidak butuh dominasi agama tertentu,” tutur Prof. Aan menirukan pemikiran sang menteri. “Yang dibutuhkan adalah sinergi spiritual untuk memperkuat kemanusiaan universal.”
Pesan Damai dari Timur
Dari Jakarta hingga Vatikan, dari Al-Azhar hingga New York, langkah Prof. Nasaruddin selalu membawa pesan yang sama: bahwa kedamaian adalah panggilan suci setiap manusia.
Maka, ketika Prof. Aan Jaelani Rektor UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon menyuarakan gagasan agar namanya diusulkan sebagai penerima Nobel Perdamaian Dunia, banyak pihak menilai itu bukan sekadar pujian, melainkan pengakuan atas dedikasi panjang seorang ulama yang menjadikan kasih sayang sebagai jalan dakwahnya.
Dalam dunia yang semakin bising oleh perpecahan, sosok seperti Prof. Nasaruddin Umar hadir sebagai pengingat: bahwa dari Timur, dari tanah Indonesia yang majemuk, masih ada suara lembut yang mengajak dunia untuk duduk bersama — berdamai dalam kemanusiaan.
